Opini Investigatif | Di jalanan kota besar hingga pelosok desa, masih sering terdengar cerita tentang debt collector yang merampas kendaraan roda empat dengan cara-cara premanisme. Mobil debitur dihentikan di tengah jalan, kunci dipaksa dirampas, bahkan tidak jarang disertai intimidasi. Ironisnya, praktik ini masih berjalan meski Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 18/PUU-XVII/2019 sudah menegaskan: penarikan objek fidusia tidak boleh dilakukan sepihak.

Pertanyaannya: mengapa aturan tegas masih bisa dilangkahi? Jawabannya jelas: ada pembiaran sistematis dari kreditur yang berlindung di balik “tangan kotor” debt collector.


🛑 Debt Collector: Premanisme Berkedok Penagihan

Mari bicara fakta. Banyak debt collector beroperasi tanpa sertifikasi resmi, tidak membawa dokumen fidusia, bahkan sering tak tahu isi perjanjian kredit yang mereka eksekusi. Mereka hanya dibekali perintah: tarik kendaraan, dengan segala cara.

“Penarikan kendaraan tanpa sertifikat fidusia itu perampasan. Kalau dilakukan dengan ancaman atau kekerasan, ya sudah masuk ranah pidana. Jangan lagi dibungkus seolah-olah itu penagihan resmi,” tegas Prof. Andi Wijaya, pakar hukum pidana dari Universitas Hasanuddin.


⚖️ Kreditur: Dalang yang Sering Luput dari Jerat

Lebih berbahaya lagi adalah sikap kreditur. Banyak perusahaan pembiayaan lepas tangan, seolah tidak tahu apa yang dilakukan mitra penagihan mereka. Padahal, merekalah pemberi perintah.

“Perusahaan pembiayaan adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Mereka tidak bisa cuci tangan dan menyalahkan debt collector. Kalau ada penarikan ilegal, itu artinya sistem mereka yang bobrok,” ujar Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Jika perusahaan menarik kendaraan tanpa sertifikat fidusia, itu jelas perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Jika mereka tetap menginstruksikan penarikan paksa meski debitur menolak, mereka sedang menabrak putusan MK yang berlaku mengikat.


🔎 Debitur: Korban yang Terjepit

Di satu sisi, debitur menanggung kewajiban membayar cicilan. Di sisi lain, haknya untuk diperlakukan sesuai hukum justru diinjak-injak. Banyak yang tidak tahu bahwa mereka berhak menolak penarikan jika debt collector tidak menunjukkan sertifikat fidusia atau bertindak kasar.

“Sering kali masyarakat takut melawan. Mereka tidak sadar bahwa hukum sebenarnya melindungi mereka. Ketidaktahuan inilah yang dimanfaatkan oleh oknum penagih,” jelas Ratna Dewi, aktivis perlindungan konsumen.


🚨 Saatnya Tegas!

Opini ini ingin menegaskan: sanksi harus ditegakkan, bukan sekadar retorika.

Debt collector ilegal harus diperlakukan sebagai pelaku kriminal, bukan sekadar “petugas lapangan.”

Kreditur yang memerintahkan praktik ilegal harus ikut diseret, tidak bisa berlindung di balik outsourcing.

OJK harus turun tangan lebih keras, bukan hanya dengan teguran administratif, tetapi dengan pencabutan izin bagi perusahaan yang membiarkan pelanggaran.

(Bang Ali)

Categories: Berita